Entri Populer

Minggu, 04 Desember 2011

Ikhtilaf


            a. Pengertian Ikhtilaf
Secara etimologis fiqhiyah, ikhtilaf di ambil dari bahasa Arab yang berarti berselisih. Sedangkan secara terminologis fiqhiyah, ikhtilaf adalah perselisihan paham atau penndapat di kalangan para ulama’ fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu[1]. Dengan demikian ikhtilaf merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum islam.
b. Daerah Tempat Terjadi Ikhtilaf
Menurut teori hukum islam yang dibuat ulama’ zaman pertengahan, struktur hukum islam dibangun atas empat dasar yang disebut sumber-sumber hukum . Keempat sumber itu adalah Qur’an, Sunah Nabi, Ijma’ dan Qiyas, sebagia dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati. Apakah pada sumber  dalilsyara’ tersebut ada kemungkinan terjadinya ikhtilaf? Untuk menjawab pertanyaan tesebut, akan dicoba dijelaskan mengenai keempat sumber yang dijadikan sebagai sumber dalil syara’.
Nash-nash Al-Qur’an ditinjau dari segi petunjuknya terhadap hukum-hukum terbagi kepada dua kategori: Qath’iyud dalalah dan Zaanniyud dalalah. Ayat Al Qur’an yang termasuk dalam kategori ayat-ayat Qath’iyud dalalah, tidak dapat ditakwilkan dan dipahami dengan arti yang lain kecuali hanya dengan arti yang sesuai dengan nash-nash tersebut.
Dan ayat-ayat yang termasuk dalam kategori Zhanniyud dalalah, arti nash-nash itu masih memungkinkan untuk ditakwil atau dialihkan kepada pengertian yang lain. Dengan demikian pada kategoriyang kedua inilah terjadi ikhtilaf dalam nash-nash Al-Qur’an sebagai sumber rujukan dalam penetapan hukum.Atau perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum sesungguhnya, disebabkan karena perbedaan pendapat diantara para sahabat dalam penafsiran Al Qur’an yang Zhanni’iyud dalalah. Dalam hadits Nabi,dari segi wurudnya ada yangQaati’iyul wuruddan ada pula yang Zhanni’iyud wurud disamping ada yang Qati’iyud dalalah dan Zhanni’iyud dalalah.Oleh karena itu kemungkinan adanya ikhtilaf pada bidang hadits sangat besar. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui ilmu mushtholahul hadits[2].                                                                
Qiyas sebagai sumber hukum terjadinya ikhtilaf.Pada masa Nabi, kaum muslimin jarang menggunakan qiyas dalam melaksanakan suatu perkara hukum. Mengenai qiyas sebagai sumber hukum terjadinya ikhtilaf, ulama’ Syi’ah dan Zhahiri tidak mengakui qiyas sebagai sumber hukum. Alasan ulama’ syi’ah yaitu Al Qur’an dan Sunnah telah dianggap mencukupi dan apabila tidak ada kejelasan dalam Al Qur’an dan Sunnah, maka masalah itu diserahkan kepada imam sebagai orang yang maksum. Sedangkan alasan Zhahiri, karena sudah lengkap ketentuan-ketentun yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits.Apa yang sebenarnya di katakan sebagai hasil ijtihad sahabat, itu sebenarnya hanyalah hasil dari pemahaman terhadap Al Qur’an dan Hadits.
Dari uraian di atas dapat di pahami, bahwa masalah khilafiah adalah masalah yang selalu aktual dalam realitas kehidupan manusia, karena ada daya berpikir yang dimiliki, yang mengakibatkan orang berpikir dinamis pula dalam menetapkan suatu hukum.
Adapun yang menjadi daerah tempat terjadinya iktilaf adalah:
1.      Ayat-ayat Al Qur’an yang Zhanniyatud dalalah
2.      Hadits-hadits yang Zhanniyatud dalalah dan Zhanniyatul wurud
3.      Masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash (Al Qur’an dan Hadits)[3]
c. Sebab Timbulnya Ikhtilaf
Ikhtilaf di kalangan umat islam telah terjadi sejak masa sahabat. Ikhtilaf terjadi di masa sahabat itu adalah karena perbedaan paham di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka.Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka dalam masalah hadits tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.
Sebab-sebab pokok terjadinya ikhtilaf di kalangan para ulama’ (mujtahidin) adalah sebagai berikut:
1.      Sebab eksternal
a.       Berbeda perbendaharaan hadits masing masing mujtahid
b.      Di antara ulama’ dan umat islam, ada yang kurang memperhatikan situasi pada waktu Nabi bersabda
c.       Di antara ulama’ dan umat islam kurang memperhatikan dan mempelajari bagaimana cara Nabi menjawab suatu pertanyaan atau menyuruhorang
d.      Di antara ulama’ dan umat islam banyak yang terpengaruh oleh pendapat yang diterimanya dari pemuka-pemuka dan ulama-ulama’ sebelumnya dengan ucapan “ telah terjadi ijmak
e.       Di antara ulama ada yang berpandangan yang terlalu berlebihan terhadap amaliah-amaliah yang disunatkan sehingga orang awam menganggapnya suatu amaliah yang diwajibkan dan berdosa apabila ditinggalkan
f.       Para sahabat yang terpencar tempat tinggalnya, yang meriwayatkan hadits berbeda-beda, karena mungkin lalai atau lupa sedangkan tidak ada yang megingatkan di antara sahabat-sahabat itu tidak ada atau ada sahabat yang menerima hadits tertentu yang tidak didapat oleh sahabat yang lainnya
g.      Perbedaan pandangan politik, yang juga mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam menetapkan hukum islam
2.      Sebab internal
a.       Kedudukan suatu hadits
b.      Perbedaan penggunaan sumber hukum
c.       Perbedaan pemahaman
2.4.      Lahirnya Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu
Sejak pemerintahan islam dipegang oleh Khalifah kedua, Umar bin Khattab, wilayah kekuasaan islam sudah mulai meluas. Hal ini menyebabkan para ulama pergi bertebaran ke berbagai kota dan daerah yang sudah dikuasai islam. Mereka masing-masing memberikan fatwa-fatwa dalam masalah keagamaan.
                        Kalangan para Tabi’in banyak yang terpengaruh oleh cara istinbat hukum para sahabat. Tabi’in Hijaz terpengaruh oleh ijtihadnya Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.Sehingga akhirnya mereka dikenal dengan Aliran Hadits (Ahlul Hadits).Sedang Tabi’in yang berbeda di Irak dikenal dengan Aliran Hadits (Ahlul Hadits). Sehingga akhirnya mereka terkenal dengan Aliran Qiyas (Ahlur Ra’yu).[4]
                        Demikianlah, Jumhur ulama terbagi atas dua aliran tersebut, yaitu Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu.Adapun yang menyebabkan terbaginya mereka kepada dua aliran tersebut ialah perpecahan Jumhur ulama menjadi dua aliran yang menyangkut materi sumber hukum. Yaitu apakah boleh hukum itu ditetapkan berdasarkan qiyas di samping Al-Quran dan Hadits atau tidak?.Golongan yang mengatakan tidak boleh kecuali jika terpaksa, itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Ahli Hadits.Sedang golongan yang mengatakan ya, itulah sebagai Ahli Ra’yu.
a.       Faktor-Faktor Yang Membentuk Ulama Hijaz Menjadi Ahli Hadits
1.      Mereka dipengaruhi oleh jalan pikiran guru mereka yang sangat terikat kepada nash-nash yang ada dan sangat teliti dalam menggunakan ijtihad bir ra’yi.
2.      Mereka banyak hafal hadits Nabi dan fatwa sahabat.
3.      Mereka hidup dalam keadaan permulaan perkembangan islam.
b.      Faktor-Faktor Yang Membentuk Ulama Irak Menjadi Ahli Ra’yu
1.      Mereka terpengaruh oleh jalan pikiran guru mereka.
2.      Kufah dan Basrah, dua kota yang banyak didiami ulama Irak adalah markas tentara islam, juga Kufah adalah tempat kedudukan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang banyak dikunjungi oleh golongan ulama-ulama sahabat yang masyhur[5].
Perlu diketahui bahwa terjadinya perbedaan dalam penggunaan hadits dan qiyas sebagai dasar hukum adalah apabila hadits itu dipandang tidak shahih oleh salah satu pihak, sementara pihak yang satu lagi memandang shahih. Tetapi apabila kedua golongan tersebut sepakat akan sesuatu hadits bahwa dia itu shahih, maka terdapatlah suatu kesepakatan antara keduanya, bahwa hadits harus didahulukan daripada qiyas, mereka sama-sama tidak menggunakan ra’yu.


[1] Hasan, M.Ali, Perbandingan Madzhab, Rajawali Pers, 2002, hal.114
[2] Hasan, M.Ali, Perbandingan Madzhab, Rajawali Pers, 2002, hal.115
[3] Hasan, M.Ali, Perbandingan Madzhab, Rajawali Pers, 2002, hal.117
[4] Al-Mansur, Asep Saifuddin, Drs, Kedudukan Madzhab Dalam Syariat Islam, Pustaka Al Husna, 1984, hal.35
[5] Al-Mansur, Asep Saifuddin, Drs, Kedudukan Madzhab Dalam Syariat Islam, Pustaka Al Husna, 1984, hal.35-37

Periode Penerapan Fiqh Masa Tabi’in

Periode ini disebut juga periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits Nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir  Al-Qur’an, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyususnan ushul fiqh.
Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama islam. Dengan semakin tersebarnya agama islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
            Keistimewaan Pada Masa Tabi’in
Berkembangnya beberapa pusat studi islam, menurut Manna' al-Qatthan telah melahirkan dua tradisi besar dalam sejarah pemikiran islam. Keduanya adalah tradisi pemikiran AhliRa'yudan tradisi pemikiran AhliHadits. Menurutnya, mereka yang tergolong AhliRa'yu dalam menggali ajaran islam banyak menggunakan rasio (akal). Sedangkan mereka yang tergolong AhliHadits cenderung memarjinalkanperanan akal dan lebih mengedapankan teks-teks suci dalam pengambilan keputusan agama. Adapun keistimewaan pada masa tabi’in ini adalah :
·         Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini.
·         Pada masa ini muncul ulama’-ulama’ besar, fuqoha’ dan ahli ilmu yang lain.
·         Madzhab fiqih pada masa ini sudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4 madzhab.(Imam Maliki, Syafi’I, Hambali dan Hanafi).


(ESSAI) “Fungsi dan Kedudukan Konstitusi Bagi Indonesia Sebagai Pelindung (HAM) dan Kebebasan Warga Negara ”



 
Istilah konstitusi (constitution) dalam bahasa inggris memiliki makna yang lebih luas dari UUD, yakni keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulisyang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Dari pengertian diatas, konstitusi dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan kekuasaan kepada penguasa
2.      Dokumen tentang pembagian tugas dan wewenangnya dari sistem politik yang diterapkan
3.      Deskripsi yang menyangkut masalah hak asasi manusia
Secara garis besar tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan menetapkan kekuasaan rakyat yang berdaulat
Dalam paham konstitusi demokratis dijelaskan bahwa isi konstitusi meliputi:
1.      Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
2.      Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3.      Peradilan yang bebas dan mandiri.
4.      Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagaisendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Dari penjelasan di atas jelas konstitusi membatasi kekuasaan penguasa dan menjamin terhadap hak-hak asasi manusia serta melindungi warga negara dalam menjalani sistem yang berlaku di negara tersebut. Karena ababila tidak diatur oleh kenstitusi maka hak-hak warga negara
HAM merupakan sesuatu yang mutlak dimiliki setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Menurut John Locke “hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati”. Karena sifatnya demikian, maka tidak ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan
Di indonesia sendiri perdebatan tentang dimana seharusnya materi hak asasi manusia (HAM) diatur terus bergulir dalam masyarakat. Sebagian menghendaki materi HAM masuk dalam salah satu rancangan ketetapan MPR. sebagian kalangan (Golkar) mendesak agar masalah HAM menjadi bagian dari GBHN saja, artinya tidak perlu dimuat dalam TAP tersendiri. Namun, sebagian ahli (hukum tata negara) berpendapat bahwa perdebatan itu sudah salah kaprah karena materi HAM itu merupakan bagian integral dari konstitusi, sehingga tidak tepat kalau diatur di dalam ketetapan MPR dan harus masuk ke dalam konstitusi.
Minimnya jumlah pasal tentang HAM dalam UUD 1945 disebabkan antara lain pada waktu UUD  1945 dirumuskan dan ditetapkan oleh panitia persiapan kemerdekaan indonesia ( PPKI) , lahir lebih dahulu dari The Universal  Declaration Of Human Right PBB yang diproklamirkan tanggal 10 Desember 1948.
Dalam batang tubuh dan penjelasan UUD 1945  itu sendiri kalau disarikan terdapat 15 prinsip HAM, yaitu:

1)      Hak menentukan nasib sendiri (preamble)
2)      Hak akan warga negara (pasal 26)
3)      Hak akan kesamaan dan persamaan di depan hukum (pasal 27)
4)      Hak untuk bekerja (pasal 27)
5)      Hak akan hidup layak (pasal 27)
6)      Hak berserikat (pasal 28)
7)      Hak menyatakan pendapat (pasal 28)
8)      Hak beragama (pasal 29)
9)      Hak untuk membela negara (pasal 30)
10)   Hak akan pendidikan (Pasal 31)
11)   Hak akan kesejahteraan sosial (Pasal 33)
12)   Hak akan jaminan sosial (Pasal 33)
13)   Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan (Penjelasan pasal 24 dan 25)
14)   Hak mempertahankan tradisi budaya (Penjelasan pasal 32)
15)   Hak mempertahankan bahasa daerah (Penjelasan pasal 31)

 Adanya 15 prinsip HAM dalam UUD 1945 jelas merupakan komitmen negara ini terhadap HAM. Tetapi, komitmen ini belum tentu mencerminkan keberadaan HAM secara real di masyarakat, malah keberadaan prinsip-prinsip HAM ini di UUD 1945 bisa pula dilihat sebagai ‘possesion paradox’ dalam artian memiliki HAM tetapi tidak menikmati HAM karena lemahnya rasa hormat terhadap HAM.
DAFTAR PUSTAKA
·                Huda, ni’matul, 1999. Hukum tata negara : kajian teoritis dan yuridis terhadap konstitusi indonesia, Yogyakarta: PSH
·                Ubaedillah, dan Rozak, Abdul, (penyunting), 2010. Pendidikan kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah
·                Kusnardi, Moh, 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: FH UI dan CV Sinar Bakti