Entri Populer

Sabtu, 26 November 2011

Ijtihad


Pengertian Ijtihad
            Ijtihad menurut bahasa berarti mencurahkan kemampuan secara maksimal, untuk mencapai suatu urusan, atau suatu pekerjaan[1].
Sedangkan menurut istilah, para Ulama Ushul memberikan banyak definisi yang berbeda dalam redaksinya. Namun mereka sepakat dalam hakikat dan tujuannya, diantaranya kami kemukakan beberapa pendapat mereka sebagai berikut :
1.      Menurut Al-Ghazali, ialah :
                  بَذل ا لمجتهدوسعه فى طلب العلم باحكام الشّريعه
2.      Menurut Ibnul Hajib :
افراغ الفقيعه الوسع التحصيل ظنّ بحكم شرعيّ
3.      Menurut Al Kamal ibnul Humam ialah :
بذلالطّا قه من الفقيه في تحصيل حكم شرعيّ عقليّا كان اونقليا قطعيّاكان اوظنّيّا
Menurut Dr. Nadiyah Syarif Al Umari, definiSi ketiga inilah yang paling lengkap, karena :
1.      Nampak jelas dan terang.
2.      Ia bersifat umum, meliputi ijtihad dalam masalah qath’iah dan lainnya.
3.      Ia meliputi ijtihad kelompokdan ijtihad perorangan.
4.      Kalau ada kritikan kepadanya, sangat sedikit disbanding dengan definisi-definisi lainnya.

Argumentasi Pro dan Kontra Ijtihad
            Dalam kondisi masyarakat umum, terdapat beberapa pemahaman tentang keberadaan ijtihad. Terdapat kelompok pendukung ijtihad yang berpendirian bahwa ijtihad diberbolehkan dalam syari’at islam, sehingga ijtihad dapat dijadikan dasar tasyri’. sedangkan terdapat pula kelompok lain yang berpendapat bahwa ijtihad tidak diperbolehkan dalam syari’at islam, yaitu ijtihad tidak dapat dijadikan dasar-dasar penetapan hukum Islam.

Argumentasi Kelompok Anti Ijtihad
a.      Al-Qur’an
Banyak ayat-ayat yang arti umumnya menunjukkan akan kecukupan nash untuk memenuhi keperluan manusia tanpa menempuh ijtihad, seperti firman Allah :
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an sebagai penjelasan terhadap semua golongan.”[2]
Dan jikalau hal-hal yang tidak ada nashnya maka kembali kepada ayat-ayat Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamudan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Penyantun.”[3]
Adapun ayat yang menunjukkan tidak bolehnya menetapkan hukum dengan ra’yu.
Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya engkau mengadili antara manusia dengan apa yang Allah telah wahyukan kepadamu. Tidak dikatakan, “dengan apa yang engkau telah berpendapat”.[4]
b.      As-Sunnah
Dari sunnah ada yang mencela orang yang menggunakan ra’yu seperti sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Malik al-Asyja’i :
Bahwa Rasulullah saw. Bersabda : “Akan terpecah belah umatku menjadi tujuh puluh golongan lebih. Golongan yang paling besar sesuatu kaum yang membatasi agama itu dengan pendapat mereka. Mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah”.
Demikian pula asar sahabat pun ada yang menunjukan celah mereka terhadap perbuatan menggunakan ra’yu dalam urusan agama. Seperti perkataan Umar :
Hati-hatilah terhadap orang yang semata-mata menggunakan ra’yunya,kerena ia adalah musuh al-sunnah.
c.       Dalil Akal
Perkataan Sayidina Ali:
Sekiranya mengamalkan agama semata-mata dengan ra’yu, tentu mengusap bagian bawah terhadap khaf (sepatu), pada waktu bersuci lebih pantas dari bagian atasnya.
Perkataan Ibnu Abas:
Itu adalah kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. Barang siapa yang berkata dengan pendapatnya sesudah ada keduanya itu, saya tak tahu lagi apakah kebaikan atau kejelekan yang akan dicapainya.

Argumentasi Kelompok Pendukung Ijtihad
a.      Al-Qur’an
Hai orang yang beriman taatilah allah dan taatilah rasul-Nya, dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (sunnah nabi).[5]
Dari ayat tersebut para ahli tafsir berpendapat bahwa kalimat “kembalikan kepada Allah (Al-Quran) dan rasul (sunnah)” dapat diartikan bahwa sebuah perintah untuk melakukan analogi (qiyas) jika terbentur dalam menentukan hukum suatu hal yang tidak ada dalam keduanya. Dan setiap ijtihad tidak boleh bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah.
b.      As-Sunnah
Diantara sunnah yang dijadikan dasar adanya ijtihad ialah hadist nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bagawi dari Mu’adz bin Jabal :
Pada waktu Rasulullah mengutusnya (Mu’adz bin Jabal) ke Yaman, nabi bersabda untuknya, “Bagaimana kalau kau diserahi urusan peradilan?” Jawabannya, “Saya menetapkan perkara berdasarkan Al-Qur’an.” Sabda nabi, “Bagaimana kalau kau tidak dapati dalam Al-Qur’an?” jawabannnya, “dengan sunnah Rasul.” Sabda nabi selanjutnya, “bila dalam sunnahku tak kau dapati?” jawabannya, “Saya akan mengerahkan kesanggupan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiranku.” Akhirnya nabi menepuk dada dengan mengucap segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq (kecocokan) pada utusan Rasulullah (Mu’adz).
c.       Dalil Akal
Al-Qur’an dan sunnah jumlahnya terbatas, sedangkan kejadian-kejadian baru yang dihadapi manusia silih berganti sesuai kemajuan yang mempunyai rising demand yang terus berkembang. Oleh karena itu, jalan keluarnya ialah ijtihad.

Hukum Ijtihad                             
            Hukum Ijtihad menurut Asy-Syahrastani dalam bukunya al-Mihal wa an-Nihal menyatakan bahwa ijtihad termasuk dalam fardhu kifayah. Karena tidak dapat dipungkiri lagi bahwa permasalahan-permasalahan ibadah dan muamalah tidak terhitung jumlahnya. Kita juga mengetahui dengan yakin bahwa setiap permasalahan itu tidak semuanya termuat oleh nash syari’at. Lagipula hal itu juga tidak mungkin akan terjadi. Jadi dengan demikian, kuantitas nash-nash syariat bersifat terbatas dan permasalahan-permasalahannya bersifat tidak terbatas. Sedangkan dalam hal teoritis dan terapan, segala sesuatu yang terbatas itu tidak akan mungkin berhadapan dengan sesuatu yang tidak terbatas. Oleh karena itu, kita dapat mengetahui dengan yakin bahwa kita harus mengakui akan perlunya ijthad, sehingga permasalahan baru tersebut dapat dipecahkan.
            Dan Asy-Syahrastani menyatakan bahwa syarat-syarat ijtihad itu termasuk fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Yaitu apabila salah seorang dari anggota umat sudah melaksanakannya maka gugurlah kewajiban dari yang lain. Sedangkan apabila suatu umat pada zaman melalaikan hal ini, maka merka berdosa dan terancam bahaya besar. Jadi,untuk menemukan hukum-hukum dari permasalahan baru itu harus dengan ijtihad, seperti terjadinya sesuatu karena ada sebab. Jika sebab tidak ada maka hal-hal baru tersebut tidak akan dapat solusi hukumnya. Oleh karena itu keberadaan seorang mujtahid merupakan suatu keharusan umat.
Hukum ijtihad itu boleh terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya
Sedangkan jika sudah terdapat ketetapan nash hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak boleh diijtihadi.


Kedudukan Ijtihad
            Kedudukan ijtihad dalam hukum islam jelas hanya menempati posisi di bawah sumber hukum Al-Qur’an, As-Sunnah. Peranannya adalah :
1.      Penjabar nash-nash zhonni (masih samar) dari Al-qur’an dan as-sunnah.
2.      Ketetapan atau keputusan dari mujtahid yang beriman mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak diatur oleh al-qur’an atau as-sunnah.
3.      Dinamisator (motor penggerak) dari seluruh ajaran islam.
Gradasi kedudukan sumber hukum islam juga sudah ditentukan dengan tegas oleh Al-Qur’an surat an-nisa’ ayat 59.

Syarat-Syarat Mujtahid
Menurut M. Musa Towana mengelompokan syarat-syarat ijtihad kedalam beberapa bagian berikut rinciannya :
Pertama, persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah) yang meliputi :
(1)   Baligh, (2) berakal sehat,(3) kuat daya nalarnya, dan (4) beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut :
(1)   Mengetahui Qur’an, (2) memahami sunnah, (3) memahami maksud-maksud hukum syariat, dan (4) mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawaid al-kulliyyat) hukum islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup :
(1)   Menguasai bahasa arab, (2) mengetahui ilmu ushul fiqh, (3) mengetahui ilmu mantik atau logik, dan (4) mengetahui hukum asal suatu perkara(al-bara’ah al-asliyah)
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syrut al-takmiliyyah) yang mencakup :
(1)   Tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang di ijtihadi, (2) mengetahui tempat-tempat khilafiyyah atau perbedaan pendapat, dan (3) memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.

Kualifikasi Mujtahid[6]
            Menururt para sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi persyaratan yang berhak menyandang predikat mujtahid. Namun, merek amembedakan derajat para mujtahid ke dalam beberapa martabat. Sejak dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah. Beberapa tingkatan mujtahid yang dimaksud ialah :
1.      Mujtahid Mustaqil
Yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syariat langsung dari sumbernya yang terpokok (Al-Qur’an dan Sunnah) dan dalam mengistinbatkan hukum dia mempunyai dasar-dasar istimbat(usul al-istimbat) sendiri, tidak mengikuti ushul al-istinbat mujtahid lain. Mujtahid ini disebut juga mujtahid mutlak, yakni mujtahid yang memiliki kesanggupan untuk mengistinbatkan hukum-hukum syariat dari sumbernya  ini disebut juga mujtahid mutlak, yakni mujtahid yang memiliki kesanggupan untuk mengistinbatkan hukum-hukum syariat dari sumbernya (Al-Qur’an dan Hadits) tanpa terikat pendapat mujtahid lain.
2.      Mujtahid Muntasib
Yakni mujtahid yang mengistinbatkan hukum mengikuti (memilih) ushul al-istinbat imam madzhab tertentu walaupun dalam masalah-masalah furu’ ia berbeda pendapat dengan imamnya.
3.      Mujtahid Madzhab
Ialah mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya baik dalam masalah ushul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan ijtihad, ijtihadnya terbatas dalam masalah yang ketentuan hukumnya tidak ia peroleh dari imam madzhab yang dianutnya.
4.      Mujtahid Murrajih
Yaitu mujtahid yang tidak mengistinbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum-hukum asal) akan tetapi ia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang dipandang paling kuat (arjah).
5.      Mujtahid Mustadil
Adalah ulama yang tidak mengadakan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada, akan tetapi ia mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangkan mana yang patut dipegang (diikuti) tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu.

2.7. Pola Ijtihad[7]
Secara umun metode penalaran metodologi ijtihad terbagi menjadi tiga pola yaitu: pola bayani (kajian semantik), pola ta’lili (penentuan ‘illat), dan pola istilahi (pertimbangan kemaslahatan berdasar nash umum)
a.      Pola Bayani
Ke dalam pola pertama ini dimasukkan semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik): kapan suatu lafal diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafal musytarak (anbigu), mana lafal yang umum yang diterangkan (‘am mubayyan), dan mana pula yang khusus yang menerangkan, mana ayat yang qath’i dan mana pula yang dzanny, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan larangan itu haram dan kapan pula makruh, dan seterusnya.
Sebagai contoh di dalan hadis ada perintah untuk mempersaksikan nikah dan di dalam Al-Quran ada perintah mempersaksikan ruju’ (At-Talaq: 2). Ulama memahami kesaksian nikah sebagai wajib sedang kesaksian ruju’ oleh sebagian ulama dianggap sunat. Ula
ma sepakat bahwa masa iddah perempuan yang telah digauli dan masih kedatangan haid adalah tiga quru’. Adanya masa iddah ini dianggap qath’i. Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang arti quru’ tersebut. Ada yang menyatakannya masa suci dan ada yang menyatakannya masa haid. Pemilihan salah satu arti tersebut dianggap dzanny.
b.      Pola Qiyasi (ta’lili)
Ke dalam pola ini dimasukkan semua penalaran yang menjadikan illat (keadaan atau sifat yang menjadi tambatan hukum) sebagai titik tolaknya. Di sini dibahas cara-cara menemukan illat di dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan illat baru (sebagai pengganti yang lama).
Sebagai contoh di dalam hadits ada perintah mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman, yaitu gandum, kurma (kering), dan anggur (kismis). Sebagian ulama kelompok zahiriyah memahami hadis ini melalui pola bayani, hanya memegangi arti zahirnya. Jadi produk pertanian yang terkena zakat hanyalah ketiga jenis tanaman tersebut.
Namun, sebagian besar ulama berupaya mencari illat dari jenis tanaman tersebut dan lantas memperluasnya kepada tanaman lain yang mempunyai illat sejenis. Ada yang menyatakan, “mengenyangkan (makanan pokok)”, ada yang menyatakan jenis biji-bijian, ada yang menyatakan ditanam bukan tumbuh sendiri, dan ada yang menyatakan dibudidaya sebagai illatnya. Karena perbedaan ini terjadi perbedaan pendapat tentang zakat cengkeh, kopi, sayuran, rotan, dan sebagainya. Ada yang menyatakan terkena zakat dan ada yang menyatakan tidak, sesuai dengan illatnya yang dipilih tadi.
Biasanya pola ini digunakan apabila ada perasaan tidak puas dengan pola bayani. Mungkin untuk memperkuat argumen, tetapi mungkin juga untuk mengalihkannya pada kesimpulan lain agar terasa lebih logis dan lebih berhasil guna.
c.       Pola Istilahi
Dalam pola ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsisp umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer), dan tahsiniyat (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini didedukasikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan.
Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung, dan aturan lalu lintas kendaraan bermotor. Masalah-masalah ini tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan. Karena itu untuk menentukan hukumnya, digunakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari ayat-ayat,
seperti: tidak boleh mencelakan diri sendiri dan orang lain,menolong oranglain adalah kebajikan,danlain-lain.
Melalui pendeduksian dan pertimbangan tingkatan keutamaan, para ulama menyimpulkan kebolehan sebagai hukum dasar tranplantasi, boleh untuk bayi tabung sekiranya dilakukan oleh suami istri itu sendiri, sedang pelanggran lalu lintas dianggap sebagaita’zir.

Pola istislahi sesuai keadaannya, baru digunakan ketika tidak ada dalil khusus, hanya berhubungan dengan persoalan-persoalan baru yang biasanya muncul karena penggunaan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Di dalam ushul fiqh, pola yang terakhir ini sangat sedikit mendapat perhatian.
  

 Jenis-Jenis Ijtihad
Di antara jenis-jenis ijtihad ialah:
1. Ijma’
Yaitu kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Muhammad, setelah beliau wafat, pada suatu masa atas hukum suatau masalah.
2. Qiyas
Di antara definisi qiyas (analogi) ialah:
a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Quran atau hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (illat). Untuk melakukan ijtihad diperlukan empat unsur yang dalam ushul fikih disebut rukun-rukun qiyas. Keempat rukun tersebut ialah al-ashl (pokok), yaitu pokok yang telah disebutkan di dalam nash, yang menjadi pangkal qiyas; al-far’ (cabang), yaitu hal yang dicari hukumnya, yang tidak disebut dalam nash; hukm al-ashl (hukum atas pokok); dan ‘illat hukm al-ashl (sebab hukum atas pokok).
3. Istihsan
Di antara definisi istihsan ialah:
a. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
b. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak
d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan. Misal, dalil khusus sunnah menentukan bahwa harta wakaf tidakboleh dipindah tangankan dengan cara dijual, diwariskan atau dihibahkan. Jika suatu harta wakaf tidak memenuhi fungsi yang sesuai dengan tujuan wakaf, maka ia boleh dipindahtangankan untuk memenuhi fungsi yang sesuai dengan tujuan wakaf dan sekaligus menghindari larangan memubazirkan harta.
4. Mashalat murshalah
Yaitu tindakan memutuskan masalah yang tidak ada nashnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Misal, mengenai mengharuskan agar pernikahan dicatat, tidak ada satu nash pun yang membenarkan dan membatalkannya. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk melindungi hak masing-masing suami istri. Tanpa pencatatan, negara tidak mempunyai dokumen otentik atas terjadinya perkawinan.
5. Sad Adz-Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
6. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
7. Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsip dalam Al-Qur’an dan Hadis.



[1] Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta:Kalam Mulia,1993), hlm. 101
[2] Q.S. An-Nahl:89
[3] Q.S. Al-Maidah:101
[4] Q.S. An-Nisa:105
[5] Q.S. An-Nisa’:59
[6] Yusdani Amir Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer (Yogyakarta:UII Press,2005), hlm 58-59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar