Entri Populer

Sabtu, 26 November 2011

Pembaharuan Islam Di Timur Tengah

 
A.    Memahami Arti Pembaharuan
Pembaruan, dalam kamus besar bahasa indonesia bermakna gerakan umum atau hasil khusus untuk menghapuskan kesalahan fungsi sistem yang ada di masyarakat.[1]
Adapun pembaharuan islam di timur tengah sendiri merupakan semangat yang dilakukan pembaharu dalam merubah kesalah pahaman masyarakat soal agama, politik, pendidikan, kemasyarakatan dan pemerintahan. Agar umat islam yang tertinggal juah dari bangsa Eropa pada waktu itu bangkit dan mengejar ketertinggalannya.
B.     Penyebab Terjadinya Pebaharuan
Ketidakmurnian lagi agama islam yang oleh sebagian golongan salah mengaplikasikan terhadap qada dan qodar serta timbulya bidah-bidah dan hadis-hadis palsu. Mulai terpecahnya umat islam pada saat itu kerena mementingkan madzhab atau golongan tertentu.
Pada abad 18, negara-negara islam mulai tunduk pada bangsa eropa dan selalu menurutinya tanpa usaha sedikitpun untuk membebaskan diri dari penjajah.
Dari semua sebab kemunduran tersebut akhirnya para tokoh pembaru yang memang memiliki komitmen yang benar terhadap Islam pun tampil. Dengan tujuan mengatasi keterbelakangan umat islam dalam hampir seluruh aspek kehidupan dan terdorong oleh kemajuan barat dan dampaknya.

C.    Tokoh-Tokoh Pembaharuan Dan Pemikirannya

1.                  Jamaluddin al-Afghani
a)             Biografi singkat
Jamaluddin al-Afghani atau Al-Jamal Asadabadi-Din, lahir di desa asabad dekat hamadan, Iran[2], pada tahun 1839. Jamaluddin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam islam yang tempat tinggalnya berpindah-pindah antar negara islam. Pengaruh terbesarnya di Mesir, ketika baru berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi perdana mentri. Pada masa itu inggris telah mencampuri soal politik dalam negeri Afghanistan dan Jamaluddin al-Afghani termasuk yang melawan golongan yang disokong inggris, pihaknya kalah dan kemudian ia meninggalkan Afghanistan dan pindah ke India pada tahun 1869. Namun pada tahun 1871 ia pindah ke Mesir karena India pun telah jatuh ke bawah kekuasaan inggris.
Di kairo ia memusatkan perhatian pada bidang alamiah dan sastra Arab. Dan rumah tempat ia tinggal menjadi tempat pertemuan para pengikutnya, yang terdiri dari para orang-orang terkemuka di pengadilan, dosen-dosen, mahasiswa, dan juga pegawai pemerintahan.yang diantaranya Muhammad Abduh dan Sa’ad Zaghul.
Pada tahun 1879 atas usaha Jamaluddin al-Afghani terbentuklah partai Al-Hizb al-Wathani (partai nasional), diantara tujuan partai ini adalah memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers dan pemasukan unsur-unsur mesir ke bidang militer. Tapi pada tahun 1879 Jamaluddin al-Afghani di usir oleh pemerintahan atas tekanan inggris.
Dari mesir Jamaluddin al-Afghani pindah ke Paris dan mendirikan perkumpulan Al-‘Urwah al-Wusqha, anggotanya terdiri dari orang islam dari India, Mesir, Syria, Afrika Utara, dll. Di tahun 1889 Jamaluddin al-Afghani diundang ke persia untuk menyelesaikan persengketaan yang timbul karena adanya politik pro-inggris yang dianut pemerintahan waktu itu.  al-Afghani melihat bahwa Syar Nasir Al-Din perlu digulingkan, tapi sebelum sempat menjatuhkannya ia telah dipaksa keluar dari Persia. Di tahun 1986 Syah dibunuh oleh pengikut al-Afghani.
Atas undangan Sultan Abdul Hamid, al-Afghani selanjutnya pindah ke istambul pada tahun 1892. Bantuan dari negara-negara islam diperlukan Sultan Abdul Hamid untuk menentang Eropa yang waktu itu kian mendesak kedudukan kerajaan usmani di timur tengah. Akan tetapi kerjasama antara al-Afghani dan Sultan Hamid yang mempertahankan kekuasaan otokrasi lama, tidak bisa tercapai. Ia tetap tinggal di sana sampai wafat pada tahun 1897.[3]
b)             Pemikiran Jamaluddin al-Afghani
1.              Bangkitkan kesadaran berpolitik melawan absolutism.
Harus dijelaskan pada massa bahwa perjuangan politik adalah kewajiban agama, bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan politik, bahwa setiap orang harus terlibat dalam nasib politik Negara dan masyarakat Islam.
2.              Lengkapi diri dengan sains dan tekonologi modern.
Dominasi barat terjadi karena keunggulan dalam sains dan teknologi. Kaum Muslim tidak harus menolak segala hal yang datang dari barat. Mereka harus belajar dari barat, tetapi bukan mengadopsi peradaban mereka, sains dan teknologilah yang harus mereka kuasai.
3.              Kembali pada Islam yang sebenarnya.
Praktek-praktek korupsi dan tambahan-tambahan yang tidak bermanfaat dalam pengamalan Islam harus dibuang, umat harus dikembalikan kepada Al-Qur`an,  Al-Sunnah, kehidupan suci pada zaman permulaan Islam.
4.              Hidupkan aqidah Islam sebagai aqidah yang komprehensif dan independen.
Islam adalah agama sains dan kerja keras, agama yang menuntut tanggung jawab, agama yang memuliakan akal dan membenci takhayul. Dia menganjurkan murid-muridnya untuk menghidupkan kembali filsafat dalam khazanah pemikiran Islam.
5.              Lawan kolonialisme asing.
Penjajah asing di dunia Islam bukan saja mengandung implikasi eksploitasi politik, tetapi juga dominasi ekonomi dan budaya. Kaum Muslim harus disadarkan bahwa sekularisme adalah taktik barat untuk melepaskan pengaruh Islam dalam masyarakat. Harus ditegaskan bahwa kultur barat tidak akan membawa kemakmuran manusia.
6.              Tegakkan persatuan Islam.
Untuk melawan invasi barat, kaum Muslim haruslah bersatu. Bersatu tidaklah berarti menyatukan mazhab. Bersatu berarti menyatukan front politik dan organisasi. Ia mengecam pembagian Islam dalam Negara-negara kecil dan mengkhutbahkan Pan-Islamisme.
7.              Hilangkan rasa rendah diri dan rasa takut terhadap barat.
Lewat sebuah cerita kiasan dalam Al-`uwah Al-`wustqa, ia mengingatkan kaum Muslim bahwa ketakutan terhadap barat adalah ilusi yang dibentuk sendiri. Kaum Muslim tidak boleh takut terhadap hingar-bingar suara barat. Diperlukan orang yang mennatang maut untuk menjatuhkan kepongahan barat. [4]
2.                  Muhammad Abduh
a)             Biografi Singkat
Muhammad Abduh bin Hassan Khair Ullah. Lahir di desa Mahillah (Mesir) pada 1265 H/1849 M. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairillah ,seorang keturunan Turki dan ibunya mempunyai keturunan yang nasabnya sampai pada Umar bin Khattab (Khulafaur-rasyidin).[5]
Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap pendidikan Muhammad Abduh, dalam waktu 2 tahun ia sudah bisa hafal al-Quran, pada 1862 ia dikirim ke perguruan agama di masjid Syeikh Ahmad yang terletak di desa Tanta, pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi al-Azhar di Cairo, di sinilah ia bertemu dengan Sayyid Jamaluddin al-Afghani.
Ia belajar filsafat di bawah bimbingan al-Afghani. Pada tahun 1877 studinya selesai dengan hasil baik dan mendapat gelar alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen Al-Azhar dan Universitas Darul Ulum.
Karena hubungan dengan jamaluddin al-Afghani yang dituduh mengadakan gerakan menentang Khadewi Taufik, maka Muhammad Abduh yang diduga ikut campur dalam persoalan ini dibuang keluar kota Chairo. Tapi setahun kemudian (1880 M) ia kembali diperbolehkan ke Chairo dan diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah yang bernama Al-Waqa’il Mishriyah dan dibentu oleh Sa’ad Zaglul Pasya.
Dalam peristiwa pemberontakan Urabi Pasya (1882) Muhammad Abduh terlibat di dalamnya sehingga ia diusir dari mesir. Ia kemudian memilih Syria (Beirut) dalam waktu satu tahun, kemudian ia tiba di Paris (1884) atas panggilan Sayyid Jamaluddin Al-Afghani. Bersama Jamaluddin Al-Afghani ia mendirikan organisasi Al-‘Urwatul Wusqha dan menerbitkan sebuah majalah yang sama dengan nama organisasinya. Dalam majalahnya ia menyerukan agar umat islam bangkit, gebrakan ini dengan cepat menggema di kalangan umat islam, namun kaum imperialis cemas dan gempar. Dan akhirnya pada tahun 1884 Inggris, Belanda dan Perancis melarang majalah ini, akhirnya Muhammad Abduh  kembali ke Mesir.
Di Mesir Muhammad Abduh menjabat sebagai mufti Mesir dan anggota Majelis perwakilan (legislatif council), Muhammad Abduh wafat pada 1905 M dikuburkan di Alexandria.
b)             Pemikiran Muhammad Abduh
Pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh hampir sama dengan Jamaluddin Al-Afghani karena kedekatannya, pemikirannya banyak menginspirasi organisasi Islam, salah satunya Muhammadiyah, karena ia berpendapat, Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu sains. di antara pemikirannya adalah:
1.              Aspek kebebasan
Dalam memperjuangkan cita-cita pembaharuannya. Dalam hal ini Nasionalisme dan dititik beratkan pada pendidikan. Kesadaran rakyat bernegara dapat disadarkan melelui pendidikan, surat kabar, majalah dan sebagainya.
2.              Aspek kemasyarakatan
Dalam hal perkawinan Muhammad Abduh pada dasarnya monogami, sedangkan surah An-Nisa ayat 3 memperbolehkan poligami diikat dengan syarat adil yang menurutnya tidak mungkin dilaksanakan oleh manusia.
3.              Aspek keagamaan
Muhammad Abduh tidak menghendaki adanya taklid agar pintu ijtihad tetap terbuka, agama dan ilmu tidak ada pertentangan karena Al-Qur’an bukan saja sesuai dengan ilmu pengetahuan tetapi memberikan semangat agar umat islam mengembangkannya.
4.              Aspek pendidikan
Ia memikirkan bahwa pelajaran-pelajaran agama perlu dimasukkan ke dalam sekolah pemerintahan, begitu pun sebaliknya madrasah yang masih memakai sistem lama dapat menyusupkan ilmu pengetahuan ke dalam pelajarannya.[6]
3.                  Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
a)             Biografi Singkat
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha lahir pada tahun 1965 M, di al-Qalamun suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Syria). Ia berasal dari keturunan Al-Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memekai gelar “Sayid” di depan namanya.[7]
Rasyid Ridha menyelesaikan pelajaran-pelajaran muqadimat (pelajaran dasar) di bawah didikan ayahnya. Rasyid kecil aktif menghafalkan Al Qur’an pada masa-masa itu. Kemudian ia pergi ke Tarablus dan memasuki sekolah dasar Ar-Rasyidiyah, salah satu sekolah milik pemerintahan Utsmani. Ia juga mempelajari bahasa Turki dan Perancis. Pada tahun 1299 H /1882 M, ia belajar di Madrasah al-Wathaniyah yang merupakan sekolah terkemuka di zaman itu dan pendirinya adalah Syaikh Husain al-Jisr. Namun tak lama kemudian sekolahan ini ditutup oleh pemerintahan Utsmani. Rasyid Ridha aktif mengikuti kelas-kelas non-formal Syaikh Husain al-Jisr. Ia belajar ilmu-ilmu syariat, ilmu aqli dan bahasa Arab dari Syaikh Husain al-Jisr. Rasyid Ridha juga mempelajari ilmu hadis dari Syaikh Mahmud Nashyabah, Syaikh Abdul Ghani Ar Rafi’i, Mahmud Al Ghajawi, dan Muhammad al-Husaini.[8]
Rasyid Ridha ingin sekali bergabung dengan Jamaluddin Al-Afghani di Istambul, tapi niatnya tidak terkabul. Sewaktu Muhammad Abduh dibuang ke Beirut Rasyid Ridha punya kesempatan untuk berjumpa dan berdialog dengannya, ide-ide dan pemikiran al-jisr, Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh sejalan dan mempengaruhi jiwanya.
Rasyid Ridha mulai mencoba menerapkan ide-idenya di Suria tapi usahanya mendapat tentangan dari pihak kerajaan Usmani, ia merasa tidak bebas dan memutuskan untuk pindah ke Mesir pada tahun 1898, dekat dengan Muhammad Abduh.
Dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama Al-Manar. Dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan Al-Manar sama dengan Al-‘Urwah Al-Wusqa. Antara lain mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh islam menghilangkan faham fatalisme, serta faham-faham salah yang dibawa tarekat tassawuf.[9]  Syaikh Muhammad Rasyid Ridha meninggal dengan aman dan memeluk Al-Quran pada tanggal 23 Jumadil ula 1354 / 22 Agustus 1935.
b)             Pemikiran Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
1.              Bidang agama
Umat islam harus kembali dibawa ke ajaran yang sebenarnya, murni dari segala bid’ah. Dalam soal muamalah, dasar-dasar seperti keadilan, persamaan, serta pemerintahan, perincian dan pelaksanaannya, umatlah yang menentukan. Sedangkan, hukum-hukum fiqh mengenai hidup kemasyarakatan, didasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits. Menghilangkan paham fatalisme, dan menggantinya dengan faham dinamika.
Ijtihad tidaklah diperelukan dalam persoalan ibadah. Ijtihad hanya diperlukan dalam menghadapi persoalan-persoalan bermasyarakat. Ijtihad juga tidak diperlukan terhadap ayat dan hadits yang mengandung arti tegas, namun hanya terhadap ayat dan hadits yang tidak mengandung arti tegas, serta terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits.
Untuk mengatasi sikap fanatik, Rasyid Ridha menganjurkan terhadap toleransi bermazhab. Yang perlu dipertahankan dalam kesamaan faham umat. Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan penafsiran modern terhadap al-Qur’an, yaitu penafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan oleh gurunya yang kemudian dikenal dengan tafsir Al-Manaar
2.              Bidang pendidikan
Menurut Rasyid Ridha, membangun sarana pendidikan adalah lebih baik dibandingkan membangun masjid. Menurutnya, masjid tidak besar nilainya apabila mereka yang shalat di dalamnya hanyalah orang-orang bodoh. Akan tetapi dengan membangun sarana dan prasarana pendidikan, akan dapat menghapuskan kebodohan. Dengan begitu, pekerjaan duniawi dan ukhrawi akan menjadi baik dan teratasi.
Ia juga mengadakan berubahan kurikulum dengan melakukan penambahan materi-materi seperti Teologi, Pendidikan Moral, Sosiologi, Ilmu Bumi, Sejarah, Ekonomi, Ilmu Hitung, Ilmu Kesehatan dan Bahasa-Bahasa Asing dan ilmu mengatur rumah tangga[10]


4.                  Hasan al-Bana
a)             Biografi Singkat
Hasan al-Bana dilahirakan pada tanggal 14 oktober 1906 di desa mahmudiyah kawasan buhairah, mesir.[11] Ayahnya, Syaikh Ahmad al-Banna adalah seorang ulama fiqh dan hadits. Pada usia 12 tahun ia telah menghafal al- Qur’an. Hasan al-Bana lulus dari sekolahnya dengan peringkat terbaik dan nomor 5 terbaik dari seluruh mesir. Pada usia 16 ia menjadi mahasiswa perguruan tinggi Darul Ulum, dan menamatkannya pada usia 21 tahun dan ditunjuk menjadi guru isma’iliyah.
Hasan al-Bana prihatin dengan kelakuan inggris yang memperbudak bangsanya. Kekhalifahan utsmaniyah (turki), sebagai pengayom umat islam mengalami keruntuhan.  Kekuasaan raja yang absolut dan keberadaan partai-partai pada masa itu yang banyak terpengaruh oleh kekuasaan Inggris, merupakan hal-hal yang mempengaruhi pemikiran politik Hasan Al-Banna sehingga Hasan Al-Banna berinisiatif untuk mendirikan organisasi yang berjuang untuk mengembalikan Mesir dalam kondisi yang kondusif dan menyerukan persatuan Islam yaitu Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928.
Pada tahun 1932 Hasan Al-Banna pindah ke Kairo, pada tahun 1938 kegiatan Ikhwanul Muslimin mulai  merambah ke bidang politik. Ketika Perang Dunia II terjadi, Ikhwanul Muslimin berkembang lebih pesat dan menjadi organisasi penting dalam kekuatan Mesir. Tetapi, akhirnya benturan antara Ikhwanul Muslimin dengan pemerintah Mesir tak bisa dihindari. Mulai dari penilaian banyak anggota yang menyatakan bahwa pemerintah Mesir telah mengkhianati kepentingan nasionalisme Mesir sendiri. Pemerintah pun akhirnya menilai Ikhwanul Muslimin sebagai “ancaman” dan penyergapan para tokoh IM pun terjadi. Dan pada 12 Februari 1949 Al-Banna tertembak oleh penembak misterius yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak “utusan” pemerintah.[12]

b)             Pemikiran Hasan al-Bana
Pemikiran Al-banna yang memandang bahwa Islam adalah agama yang universal dan menyeluruh, bukan hanya agama yang bersifat ibadah ritual saja. Tetapi Islam juga mencangkup sosok individu, keluarga, pemerintahan dan kenegaraan.
Hasan al-Bana merupakan pendiri Ikhwanul Muslimin, adapun prinsip dari yang bergerak berprinsip :
Ø   Allah tujuan kami (Allahu ghayatuna)
Ø   Rasulullah teladan kami (Ar-Rasul qudwatuna)
Ø   Al-Qur'an landasan hukum kami (Al-Quran dusturuna)
Ø   Jihad jalan kami (Al-Jihad sabiluna)
Ø   Mati syahid di jalan Allah cita-cita kami yang tertinggi (Syahid fiisabilillah asma amanina).

5.                  Ali Syari’ati
a)             Biografi singkat
Ali Syari’ati lahir 23 November 1933, di desa Mazinan, pinggiran kota Masyahad dan Sabzavar, Provinsi Khorasa, Iran. Desanya berada di tepi gurun pasir Dasht-I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran. Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad. Kota pemakaman Imam Ali Ridha, Imam ke delapan dari kepercayaan Islam Syi’ah.
Sementara dari pihak ibu, kakeknya, Akhun Hakim, adalah sosok ulama yang kisah        hidupnya turut menginspirasi Syari’ati. Sementara pamannya, adalah murid dari ulama terkemuka Adib Nishapuri, yang telah belajar filsafat, fiqh, dan sastra. Guru pertama Ali Syari’ati adalah Taqi Syari’ati, ayahnya sendiri, yang memutuskan untuk mengajar di kota Masyhad.Pada tahun 1940, Syari’ati mulai bersekolah di Sekolah Dasar Negeri, yang bukan sekolah agama. Dan tahun 1950 ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru selama dua tahun.
Tahun 1956, Syari’ati melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Masyhad. Dan di tahun 1959, Syari’ati berhasil lulus sebagai sarjana Fakultas Sastra Universitas Masyhad dengan peringkat pertama di kelasnnya.Tahun 1960, Syari’ati mendapatkan beasiswa dari pemerintah Iran dan melanjutkan pendidikan tingkat sarjana di Universitas Sorbonne, Prancis. Syari’ati menjadi asisten riset Massignon (Islamolog Prancis) tahun 1960-1962 untuk menterjemahkan dokumen berbahasa Persia, dalam menulis biografi putri Nabi Muhammad, Fatimah. Di tempat yang sama, pada tahun 1963-1964 Syari’ati menyerap wawasan sosiologi Islam dari Jacques Berque. Dan ia pun akhirnya berhasil meraih gelar doktor di bidang Sosiologi dan Filsafat Sejarah Islam pada tahun 1964.
      Kesibukannya sudah terlihat  pada tahun 1952, ia memulai karirnya sebagai guru di desa Ahmadabad. Dekat Masyhad, sambil terus belajar di Sekolah Pendidikan Guru. Dan pada tahun 1950-an itu pula ia ikut dalam gerakan NRM (Nasional Resistance Movement) cabang Masyhad, yang dibentuk oleh Mehdi Bazargan dan aktifis sosial yang bernama Sayyid Mahmud Thaliqani. Karena gerakan itulah, tahun 1957 ia bersama ayahnya dipenjara di Rumah Tahanan Qazil Qal’ah, Taheran, selama 8 bulan sebagai akibat gerakan oposisinya melawan rezim Syah Reza Pahlevi.
      Pada tahun 1962-1963, dia sibuk dengan aktifitas politik dan jurnalistik. Ia juga menjadi redaktur jurnal Iran-e Azad (free Iran) yang didirikan organisasi Gerakan Nasional Anti-Syah di Eropa. Gerakan yang menuntut pembebasan Iran (Liberation Movement of Iran. Tahun 1965, setelah mendapatkan gelar Doktor, Syari’ati diterima menjadi asisten profesor di Universitas Masyhad. Ia juga mengajar di tiga SMU dalam rangka mendirikan lembaga pendidikan.
  Pada tahun 1967, dia menjadi dosen Sejarah Islam di Fakultas Sastra Universitas Masyhad. Sebagai sosiolog muslim, Syari’ati sering berdiskusi dengan mahasiswanya membicarakan masalah yang dihadapi Kaum Muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Karena pemikiran baru itu, Rezim Syah Iran menghentikan aktivitas mengajarnya, dan pada tahun 1968 ia dipensiunkan dari Kementrian Pendidikan di usianya yang baru 35 Tahun.
  Setelah dipensiunkan ia pun pindah ke Taheran, dan kembali melanjutkan aktivitas mengajarnya di Institut Hussainiyah Al-Irshad. Setelah pemikiran Syari’ati berhasil disalurkan kepada masyarakat, berbagai perlawanan pun bermunculan. Dan akhirnya pada November 1972 berdampak pengepungan dan penutupan Institut Hussayniah Irshad oleh polisi Iran. Ia pun akhirnya diganjar penjara di Rumah Tahanan Komitah, penjara khusus tahanan politik.[13]
  Maret 1975, Syari’ati terpaksa dibebaskan. Tapi, walaupun dibebaskan, ia tetap diawasi dengan ketat, dan dilarang untuk menuangkan ide-idenya ke dalam buku ataupun berhubungan dengan murid-muridnya. Tetapi, secara diam-diam ia tetap memberikan kuliah perlawanan. Karena batasan-batasan tersebut, akhirnya Syari’ati memutuskan untuk pergi ke London pada Mei 1977. Dengan mengganti nama resminya Muhammad Ali Mazinani, menjadi Ali Syari’ati agar tidak terdeteksi dan bisa lolos ke luar negeri. Juni 1977, Pouran, istri Syari’ati beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London. Namun, setelah menjemput dan membawa mereka kesebuah rumah yang telah disewa Syari’ati di daerah Southampton, Inggris pagi 19 Juni 1997, Syariati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah iran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Syari’ati akhirnya dikuburkan di Damaskus, Suriah. Pada 27 Juni 1977.
b)             Pemikiran Ali Syari’ati
Belajar di Perancis menjadikan pemikiran Syari’ati cenderung kepada filsafat. Dan pemikiran yang sangat Syari’ati terkenal diantaranya Pemikiran tentang penciptaan manusia.  Penciptaan manusia adalah pemikiran Syari’ati yang menyatakan bahwa manusia memiliki dua dimensi yang bertolak belakang. Ruh ilahiyah yang selalu menjurus kepada kesempurnaan dan sifat asal tanah yang rendah dan hina. Manusia juga satu-satunya makhluk yang sanggup memegang dan mengemban amanat untuk menjadi khalifah. Karena kebebasan memilih yang dikaruniakan oleh Allah Swt. Dan manusia mencoba berjuang untuk mendapatkan kesempurnaan yang ia inginkan.
 Manusia juga dikaruniai dengan sifat Ilahiah, yang Smembebaskannya dari seorang basyar atau makhluk yang hanya “berada”, menjadi insan atau makhluk yang “menjadi”. Sifat-sifat tersebut adalah kesadaran diri yang membuka ide-ide, kemauan bebas untuk memilih apapun dan kreativitas untuk menghadirkan hal-hal baru. Pemikiran lainnya membahas tentang penjara yang membelenggu dan menghalangi manusia untuk menggapai kesempurnaan. Penjara Sejarah yang menjadikan manusia terpaku pada kehidupan nenek moyang, penjara masyarakat yang menjadikan manusia terisolasi dari dunia luar, penjara biologis yang menafikan potensi-potensi menakjubkan yang dimiliki manusia dan penjara ego yang menghindari segala perubahan.[14]




















[1] KBBI v1.1
[2] N.R. Keddie, "Afghāni, Jamāl al-dīn", Encyclopedia Iranica
[3] Harun Nasution, Pembaharuan dalam islam,(Jakarta: PT Bulan Bintang,1991), hal 43
[5] Yusran Asmuni, pengantar studi pemikiran dan gerakan pembaharuan dalam dunia islam,(Jakarta: PT Rajagrafindo persada,1998), hal 78-81
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalm islam,(Jakarta: PT Bulan Bintang,1991), hal 57
[7] Yusran Asmuni, pengantar studi pemikiran dan gerakan pembaharuan dalam dunia islam,(Jakarta: PT Rajagrafindo persada,1998), hal 82
[9] Harun Nasution, Pembaharuan dalm islam,(Jakarta: PT Bulan Bintang,1991)
[12] Ibid. Hal 207
[13] http://blogspot.com/2008/01/pemikiran-ali-syariati-tentang.htm
[14] http://blogspot.com/2008/01/

2 komentar:

  1. izin copas ya sebagai acuan untuk tugas saya, jazakallah sangat membantu sekali.....

    BalasHapus
  2. Terimakasih infonya gan, sangat bermanfaat untuk tugas kulia saya...

    BalasHapus